Comments Pictures">More Images @ MyNiceProfile.com
Hello! Comments Pictures
More Images @ MyNiceProfile.com Welcome Comments Pictures

Minggu, 29 Juni 2014

MAKALAH LAYANAN PENDIDIKAN ABK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
A nak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Pada bagian unit ini saudara akan mengkaji beberapa prinsip layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yang dilangkapi dengan beberapa ilustrasi yang akan memudahkan saudara untuk mengkajinya. Selain itu juga akan disampaikan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus. Fasilitas pembelajaran juga akan menjadi salah satu bahan kajian pada unit ini untuk mendukukung layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus.  Untuk memperdalam kajian saudara dalam unit ini, saudara juga diminta untuk mengerjakan latihan-latihan yang disediakan. Dengan demikian usai mengikuti kajian ini saudara akan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.


1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.2.1   Apa saja prinsip-prinsip layanan anak berkebutuhan khusus ?
1.2.2   Apa saja pendeketan layanan anak berkebutuhan Khusus ?
1.2.3   Apa saja fasilitas anak berkebutuhan khusus

1.3  Tujuan Masalah
       Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai  berikut :
1.3.1 Untuk mengetahui prinsip-prinsip layanan ABK
1.3.2 Untuk mengetahui pendekatan setiap ABK
1.3.3 Untuk mengetahui fasilitas setiap ABK
BAB II
PEMBAHASAN



A.     PRINSIP-PRINSIP LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Ilustrasi 1 :
Ani anak tunanetra, ia bersama temannya sesama tunanetra belajar di sekolah luar biasa. Ia saling membantu dalam menggunakan reglet untuk menyalin apa yang diceriterakan oleh gurunya. Gurunya dengan sabar mendekati mereka satu persatu sampai ia yakin mampu menyalin dengan benar. Sementara Ida, juga tunanetra. Ida belajar bersama temannya anak awas di SMA. Ida, dibacakan teks oleh temannya, dan direkam dalam kaset. Pada suatu waktu, Ida mempunyai problem untuk memahami simbol kimia. Guru Kimia, dengan sabar berkonsultasi dengan guru pembimbing khusus tentang penulisan braille untuk simbol kimia yang dipermaslahkan. Akhirnya dengan bimbingan guru pembimbing khusus, Ida dapat memahami simbol-simbol kimia.

Ilustrasi 2
Iwan, anak tunarungu berat. Ia belajar di kelas khusus dengan menggunakan komunikasi total. Beberapa saat kadang guru mengajarkan bunyi kepada Iwan dengan berhadapan dan menempelkan punggung tangannya ke leher guru untuk ikut merasakan suara yang diucapkan oleh guru, dan Iwan diminta mengucapkan dengan merasakan getaran tangan yang ditempelkan ke lehernya. Dengan pelan-pelan akhirnya Iwan dapat menirukan bunyi yang diucapkan oleh guru walaupun tidak sempurna.

Ilustrasi 3
Yoyok, anak tunadaksa yang menggunakan kursi roda. Bersama teman yang lain ia belajar di kelas. Sesekali ia disuruh guru untuk mengerjakan soal di depan dengan menggunakan kursi rodanya. Yoyok tampak lincah, dan temannya sesama cacat saling memberikan bantuan dan saling mendukung.
Berdasarkan illustrasi tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa variasinya anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh layanan pendidikan. Untuk itu ada beberapa prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut:
1.      Keseluruhan anak (all the children)
          Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajad, ragam, dan bentuk kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya. Konsekuensi dari ini, guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru dituntut mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak . Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan karakteristik dari masing-masing kecatatan.

2. Kenyataan (reality)
Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan khusus mutlak untuk dilakukan. Hal ini penting, mengingat malalui tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan khusus. Dasar pendidikan yang menempatkan pada kemampuan masing-masing anak tunadaksa inilah yang dimaknai sebagai dasar yang berlandaskan pada kenyataan (reality)
3. Program yang dinamis (a dynamic program)
Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan dinamis karena yang menjadi subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi karena subjek didiknya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus memperhatikan akan perkembangan yang terjadi pada subjek didik. Dinamika dapat pula terjadi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori-teori pendidikan yang berkembang setiap saat. Memperhatikan kedua dinamika tersebut layanan pendidikan seharusnya memperhatikan karakteristik yang cukup heterogen pada anak dengan segala dinamikanya.


4. Kesempatan yang sama (equality of opportunity)
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan yang dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.

5. Kerjasama (cooperative)
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan potensi mereka mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak yang terkait yang paling utama adalah orangtua. Orangtua anak berkebutuhan khusus perlu dilibatkan dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan. Selain orangtua, pihak lain yang terkait adalah dokter, psikolog, psikhiater, pekerja sosial, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh masyarakat utamanya mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak.
Selain kelima prinsip tersebut di atas, ada prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1)      Prinsip kasih sayang
Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas kasihan. Kasih sayang yang dimaksudkan merupakan wujud penghargaan bahwa sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka adalah sama seperti anak-anak yang lainnya. Perubahan lingkungan dari lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang ke lingkungan sekolah pada awal anak masuk sekolah merupakan peristiwa yang menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya.

2)      Prinsip keperagaan
Anak berkebutuhan khusus ada yang memiliki kecerdasan di bawah jauh rata-rata. Keadaan ini berakibat anak mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, ia memiliki keterbatasan daya tangkap pada hal-hal yang konkret, ia mengalami kesulitan dalam menangkap hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak hendaknya menggunakan alat peraga yang memadai agar anak terbantu dalam menangkap pesan. Alat-alat peraga hendaknya disesuaikan dengan bahan, suasana, dan perkembangan anak.

3)      Kemampuan anak
Heteroginitas mewarnai kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing subjek didik perlu memperoleh perhatian dan layanan yang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-keunggulan apa yang ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan yang berdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah ketimbang yang berdasar bukan pada kemampuan anak, seperti keinginan orangtua atau tuntutan paket kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya. Mereka menganggap sama pada semua anaknya.
Oleh karena itu, sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam proses pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya dapat diikutinya. Selain itu, guru n harus mampu menterjemahkan tuntutan kurikulum terhadap heteroginitas kemampuan masing-masing subjek didik.

4)      Pembiasaan
Penanaman pembiasaan pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan informasi pendukungnya. Hal ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus. Pembiasaan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih konkret dan berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat. Untuk itu, pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakuakn secara berulang-ulang dan diringi dengan contoh yang konkret.
5)       Latihan
Latihan merupakan cara yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Latihan sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan anak dalam memberikan latihan pada diri subjek didik akan membantu penguasaan keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang melakukan kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengelola pendidikan.
6)      Pengulangan
Karakteristik umum anak berkebutuhan khusus adalah mudah lupa. Oleh karena itu, pengulangan dalam memberikan informasi perlu memperoleh perhatian tersendiri. Pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang harus dilakukan anak. Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenyataan mereka memerlukan demi penguasaan suatu informasi yang utuh.

7)      Penguatan
Penguatan atau reinforcement merupakan tuntutan untuk membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa pujian, atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki pada anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya akan memiliki arti tersendiri dalam pencapaian usaha keberhasilan. Secara psikologis akan memberikan penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya mampu berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila ini terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan prestasi lain.

B.     PENDEKATAN  LAYANAN  PENDIDIKAN
Secara umum, dikenal adanya dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Dari segi waktu, tentunya tidak harus menyediakan waktu khusus bagi setiap individu siswa, demikian pula untuk tenaga dan biaya.
Sedang kelemahananya berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran, yang sudah barang tentu kurang efektif untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam pencapaian tujuan kompetensinya. Lain halnya dengan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, guru juga akan mudah memantau perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, serta memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Selain pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan ada pendekatan lain yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak. Melalui pendekatan remidial anak dilatih dan didorong secara indivudal untuk nmenutup kekurangan yang ada pada dirinya dengan memperhatikan kemampuan yang ia miliki.
Pada pendekatan akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar assesmen kemampuan anak. Pendekatan akselerasi juga lebih bersifat individual.

1.      Anak Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, yang dalam konteks ini meliputi, anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus, yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Anak Tunanetra
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tunanetra meliputi:
a.       Penguasaan braille.
Penguasaan braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis braille, yaitu reglet, mesik ketik braille; penulisan huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai media tulisan.
b.      Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan WC, di kamar makan, di kamar tidur, di dapur,di kamar tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang lain.
c.       Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika
Meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep matematikan braille.
d.      Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan pendidikan jasmani adaftif. Adaftasi yang dilakukan berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana dan prasarana olah raga  meliputi ukuran lapangan/lintasan, alat yang digunakan dalam olah raga, dan aturan yang dipakai.

2)      Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman, (1988) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan umum dalam mengajarkan komunikasi anak tunarungu, yaitu: Ada beberapa cara dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
  1. Metode oral,
yaitu cara melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Dalam hal ini perlu partisipasi lingkungan anak tunarungu untuk berbahasa secara verbal. Dalam hal ini Van Uden, menyarankan diterapkannya prinsip cybernetik, yaitu prinsip yang menekankan perlunya suatu pengontrolan diri. Setiap organ gerak bicara yang menimbulkan bunyi , dirasakan dan diamati sehingga hal itu akan memberikan umpan balik terhadap gerakannya yang akan menimbulkan bunyi selanjutnya.
  1. Membaca ujaran.
Dalam dunia pendidikan membaca ujaran sering disebut juga dengan membaca bibir (lip reading). Membaca ujaran yaitu suatu kegiatan yang mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara sewaktu dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian makna pada apa yang diucapkan lawan bicara di mana ekspresi muka dan pengetahuan bahasa turut berperan.
Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan membaca ujaran, yaitu (1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir, (2) ada persamaan antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial (p,b,m), dental (t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada bibir, (3) lawan bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh, (4) pengucapan harus pelan dan lugas.
  1. Metode manual.
Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa manual atau bahasa isyarat mempunyai unsur gesti atau gerakan tangan yang ditangkap melalui penglihatan atau suatu bahasa yang menggunakan modalitas gesti-visual.
  1. Ejaan jari.
 Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu (1) ejaan jari dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaaan jari dengan kedua tangan (twohanded), dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.
  1. Komunikasi total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam mengajarkan komunikasi bagi anak tunarungu. Istilah komunikasi total pertama hali dicetuskan oleh Holcomb (1968) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Denton (1970) dalam Permanarian Somad dan Tatti Hernawati (1996). Komunikasi total merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan seseorang.
3). Anak Tunadaksa
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tunadaksa adalah pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain itu dukungan untuk bina diri diperlukan terapi okupasi dan bermain. Menurut Frieda Mangunsong, dkk (1998) layanan pendidikan bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
a.       Pendekatan multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa
Pendekatan multidisipliner merupakan layanan pendidikan yang melibatkan berbagai ahli terkait secara terpadu dalam rangka mengoptimalkan memampuan yang dimiliki oleh anak. Beberapa ahli terkait memberikan layanan rehabilitasi adalah ahli medis (dokter), dokter tulang, dokter syaraf, ahli pendidikan, psikolog, pekerja sosial, konselor, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, ahli pendidikan khusus. Dalam program rehabilitasi dikenal empat stadium, yaitu pertama, stadium akut antara 0 – 6 sejak menderita. Pada stadium ini merupakan stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup. Kedua, stadium sub acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin, pemberian fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan tumbuh walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini anak lebih diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk kehidupan mendatang. Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini anak dipersipkan  kembali ke rumah atau ke sekolah untuk mengikuti program pendidikan selanjutnya.
b. Program pendidikan sekolah
Program pendidikan sekolah bagai mereka yang tidak mengalami kelainan mental relatif sama dengan anak normal, hanya bina gerak masih terus dikembangkan melalui fisioterapi dan terapi okupasi, utamanya untuk perbaikan motoriknya. Orientasi pembelajaran juga lebih bersifat individu, walaupun dapat juga secara klasikal. Bagi anak cerebral palcy, binagerak masih terus diupayakan agar anak memperoleh perkembangan yang optimal.

c. Layanan bimbingan dan konseling
Layanan bimbingan dan konseling diarahkan untuk mengembangkan “self-respect” (menghargai diri sendiri). Sunarya Kartadinata, (1998/1999) menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu mengembangkan self-respect, yaitu menghargai diri sendiri dengan cara menerima diri sesuai dengan apa adanya, sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang berharga.
2.      Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental-emosional meliputi anak tunagrahita dan anak tunalaras.
1)      Anak Tunagrahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Pendekatan individual didasarkan pada asesment kemampuan anak untuk mengembangkan sisa potensi yang ada dalam dirinya. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya.
Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri. Pendekatan pembelajaran dilakukan secara individual dan remidiatif. Perkembangan kemampuan anak berdasarkan tingkat kemampuan kornitifnya. Anak yang ber IQ 55 – 70 berbeda dengan yang ber IQ 35 – 55. dalam sebaran IQ tersebut juga berbeda dalam layanan masing-masing.
2)      Anak Tunalaras
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunalaras untuk pembelajaran akademik relatif sama dengan anak normal. Khusus untuk kelainan perilakunya, pendekatan pendidikan bagi anak tunalaras menggunakan pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi. Penggunaan pendekatan terapi sangat bergantung pada jenis dan tingkat problem perilaku yang dimiliki oleh anak tunalaras.  Selain pendekatan terapi, dalam pembelajaran khusus untuk anak tunalaras adalah binapribadi-sosial anak. Mata pelajaran ini diarahkan untuk membina perilaku positif anak tunalaras dalam kaitannya dengan perilaku dirinya dan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain.
C.     MACAM-MACAM FASILITAS ANAK BEKEBUTUHAN  KHUSUS
Illustrasi 1
Atik, anak tuna netra, ia turun dari kendaraan unum terus berjalan memasuki halaman sekolah dengan menggunakan tongkatnya. Sesekali ia berhenti untuk mengenali bagian gapura dengan meraba di sisi gapura yang tertulis huruf braille tentang arah mereka masuk. Ia masuk ke halaman sekolah secara hati-hati. Kebetulan di pojok gedung ada tulisan braille yang menunjukkan arah ke ruang kelas mereka. Sisi gedung dibuat tumpul agar tidak mencederai anak-anak. Akhirnya Atik sampai di ruang kelas, dan ia duduk di kursi depan terus mengeluarkan reglet untuk mempersiapkan diri mengikuti pelajaran hari itu. Sepuluh menit kemudian, pelajaran dimulai.
Hari itu pelajaran IPA tentang berbagai bentuk binatang. Guru menyiapkan speciment binatang dari berbagai jenis dengan proporsi yang seimbang. Masing-masing speciment binatang diminta untuk diraba dan diamati. Sesekali guru mencontohkan suara dari binatang tersebut, dan karakteristik lain dari binatang yang sedang di bahas. Anak-anak mencatat karakteristik tersebut dengan riglet dan kertas braillonnya.
1.      Fasilitas pendidikan untuk anak tunanetra
  1. Huruf Braille
Huruf Braille merupakan fasilitas utama penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunanetra. Huruf Braille ditemukan pertama kali oleh Louis Braille. Ia menyusun tulisan yang terdiri dari enam titik dijajarkan vertikal tiga tiga. Dengan menempatkan titik tersebut dalam berbagai posisi maka terbentuklah seluruh abjad. Dengan menggunakan tulisan tersebut akan mempermudah para tuna netra membaca dan menulis.
  1. Tongkat putih
Tongkat putih merupakan fasilitas pendukung anak tunanetra untuk orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih anak tunanetra berjalan untuk mengenali lingkungannya. Berbagai media alat bantu mobilitas dapat berupa tongkat putih, anjing penuntun, kacamata elektronik, tongkat elektronik.
  1. Laser cane (tongkat laser)
Tongkat laser adalah tongkat penuntun berjalan yang menggunakan sinar infra merah untuk mendeteksi rintangan yang ada pada jalan yang akan dilalui dengan memberi tanda lisan (suara).
2. Fasilitas pendidikan untuk anak tunarungu
Fasilitas penunjang untuk pendidikan anak tunarungu secara umum relatif sama dengan anak normal, seperti papan tulis, buku, buku pelajaran, alat tulis, sarana bermain dan olahraga. Namun karena anak tunarungu mempunyai hambatan dalam mendengar dan bicara, maka mereka memerlukan alat bantu khusus. Alat bantu khusus tersebut antara lain menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996 adalah hearing aids, audiovisual, tape recorder, cermin.
  1. Hearing Aids (alat bantu dengar)
Alat bantu dengar ada bermacam-macam, yaitu yang diselipkan di belakang telinga, di dalam telinga, dipakai pada saku kemeja (pocket), atau yang dipasang pada bingkai kaca mata. Dengan menggunakan alat bantu dengar (hearing aids) anak tunarungu dapat berlatih mendengakan, baik secara individual maupun secara kelompok. Anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar diharapkan mampu memilih suara-suara mana yang diperlukan, dan dengan bantuan mimik dan gerak bibir dari guru (speech therapist), maka anak tunarungu dapat berlatih menangkap arti dari apa yang diucapkan oleh guru atau orang lain.
  1. Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tapes, TV. Penggunaan audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu, karena mereka dapat memperhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam kemampuan mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan, film ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat.
  1. Tape Recorder
Tape recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil ucapan yang telah direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa lisan anak tunarungu dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Selain itu, tape recorder sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan kelainan bicaranya, sehingga guru artikulasi lebih mudah membimbing mereka dalam memperbaiki kemampuan bicara mereka. Tape recorder dapat pula digunakan untuk mengajar tunarungu yang belum bersekolah dalam mengenal gelak-tawa, suara-suara hewan, perbedaan antara suara tangisan dengan suara omelan, dan sebagainya. 
  1. Cermin
Cermin dapat digunakan sebagai alat bantu anak tunarungu dalam belajar mengucapkan sesuatu dengan artikulas yang benar. Di samping itu, anak tunarungu dapat menyamakan ucapannya melalui cermin dengan apa yang diucapkan oleh guru atau Artikulator (speech therapist). Dengan menggunakan cermin, Artikulator dapat mengontrol gerakan-gerakan yang didak tepat dari anak tunarungu, sehingga mereka menyadari dalam mengucapkan konsonan, vokal, kata-kata, kalimat secara benar.
3. Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita
Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita relatif sama dengan falilitas pendidikan untuk anak umum di sekolah dasar dan fasilitas pendidikan di taman kanak-kanak. Fasilitas pendidikan lebih diarahkan untuk latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Walaupun demikian fasilitas yang berkaitan dengan pembinaan motorik kasar juga perlu disediakan secara memadai. Secara garis besar fasilitas pendidikan yang harus disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita adalah:
a. Fasilitas pendidikan yang bekaitan latihan sensorimotor
          Fasilitas pendidikan dan penunjang pendidikan bagi anak tunagrahita yang berkaitan dengan latihan sensomotorik di antaranya:
1)      berkaitan dengan visual: berbagai bentuk benda, manik-manik, warna, dsb.
2)      berkaitan dengan perabaan dan motorik tangan: manik-manik, benang, crayon, wash, lotion, kertas amril, dsb.
3)      berkaitan dengan pembau: kamper, minyak kayu putih, dsb. berkaitan dengan koordinasi: menara gelang, puzzle, meronce, dsb.
b. Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan keseharian
Fasilitas yang berkaitan dengan kehidupan keseharian (Activity Daily Leaving) berupa permainan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari atau peralatan untuk latihan kehidupan sehari-hari, di antaranya:
1)      latihan kebersihan dan gosok gigi
2)      latihan berpakaian, bersepatu
3)      permainan dengan boneka dan alat lainnya, dsb.
c. Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan latihan motorik kasar
Fasilitas yang berkaitan dengan latihan motorik kasar di antaranya dapat berupa:
1)      latihan bola kecil
2)       latihan bola besar
3)      permainan keseimbangan, dsb.

4. Fasilitas pendidikan untuk anak tunadaksa
Fasilitas pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan prasarana dan sarana langsung yang diperlukan dalam layanan pendidikan anak tunadaksa. Prasarana yang dirancang untuk anak tunadaksa hendaknya memenuhi tiga kemudahan (Musjafak Assjari, 1995), yaitu mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian. Sesuai dengan ketentuan tersebut, bangunan seyogyanya menghindari model tangga, bila terpaksa harus disediakan lief, lantai tidak banyak reliefnya, tidak banyak lubang, lebar pintu harus sesuai, kamar mandi dan WC memungkinkan kursi roda dan treepot bisa masuk, ada parallel bars, dinding kelas di lengkapi dengan parallel bars, meja dan kursi anak disesuaikan dengan kelainan anak. Fasilitas pendukung pendidikan yang berkaitan dengan diri anak adalah:
1)      Brace
Brace merupakan alat bantu gerak yang digunakan untuk memperkuat otot dan tulang. Brace biasanya digunakan di kaki, punggung, atau di leher. Fungsi brace berguna untuk menyangga beban yang tertumpu pada otot atau tulang.  Brace terbuat dari kulit yang kaku atau plastik yang tebal dilapisi kain atau sepon atau karet pada tepi dan pinggirannya agar tidak terjadi decubitus (lecet) pada jaringan yang kontak langsung.
2)      Crutch (kruk)
Kruk adalah alat penyangga tubuh yang ditumpukan pada tangan atau ketiak untuk menyangga beban tubuh. Kruk terbuat dari kayu, pipa besi, pipa aluminium, atau pipa stainless steel yang berbentuk bulat setinggi ukuran tubuh pemakainya. Pada bagian atas tempat yang kontak dengan ketiak atau tangan diberi spon atau karet agar lunak dan tidak menyebabkan lecet bila dipakai.
3)      Splint
Splint berasal dari bahasa Inggris yang berarti spalk ( bahasa Belanda). Alat ini bertujuan untuk meletakkan anggota tubuh pada posisi yang benar agar anggota tubuh yang sakit tidak salah bentuk . Ada dua macam splint, yaitu splint untuk anggota tubuh bagian atas (tangan) dan splint untuk anggota tubuh bagian bawah (kaki).
4)      Wheel chair (kursi roda)
Menurut bentuknya, kursi roda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kursi roda yang roda besarnya di depan, dan kursi roda yang roda besarnya di belakang. Kursi roda yang roda besarnya di depan dapat berputar di tempat yang sempit. Kursi roda yang roda besarnya di belakang, dapat masuk kolong tempat tidur, sehingga memudahkan untuk berpindah tempat.   Selain fasilitas pendukung tersebut di atas, fasilitas lain yang mendukung pendidikan untuk anak tunadaksa adalah ruangan terapi dan peralatan terapi. Terapi yang berkaitan langsung dengan anak tunadaksa adalah fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi.
5. Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal pada umumnya. Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari bahan yang keras, sehingga mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya. Fasilitas lain lebih berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi tersebut meliputi:
a)      Ruangan fisioterapi dan peralatannya
Peralatan fisioterapi lebih diarahkan pada upaya peregangan otot dan sendi, dan pembentukan otot. Misalnya: barbel, box tinju, wash
b)      Ruangan terapi bermain dan peralatannya
Peralatan terapi bermain lebih diarahkan pada model terapi sublimasi dan latihan pengendalian diri. Misalnya puzzle, boneka
c)      Ruangan terapi okupasi dan peralatannya
Peralatan terapi okupasi lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan kerja dan pengisian pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi anak.


BAB III
PENUTUP
3.1   SIMPULAN
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut yaitu Keseluruhan anak (all the children), kenyataan (reality), program yang dinamis (a dynamic program) , kesempatan yang sama (equality of opportunity), kerjasama (cooperative), kasih sayang, keperagaan, kemampuan anak, pembiasaan,  latihan,  pengulangan, dan  penguatan.
Secara umum, pendekatan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ada dua, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedangkan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, jika berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua pendekatan yang digunakan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak.
Fasilitas pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bergantung pada karakteristik masing-masing anak. Fasilitas pendidikan bagi anak tunanetra adalah braille dan peralatan orientasi mobilitas, serta media pelajaran yang menungkinkan anak untuk memanfaatan fungsi perabaan dengan optimal. Fasilitas pendidikan bagi anak tunarungu meliputi audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer, audiovisual, tape recorde, spatel, cermin. Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita adalah latihan sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Fasilitas pendukung pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan aksesibilitas gedung dan ruangan dan fasilitas fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi. Selain itu, bagi anak tunadaksa adalah fasilitas mobilisasi meliputi kruk, splint, brace, dan kursi roda. Fasilitas pendukung pendidikan bagi anak tunalaras lebih berkaitan dengan fasilitas terapi bermain, terapi okupasi, dan fisioterapi.

3.2   SARAN
Dari uraian materi diatas sudah sangat jelas bahwa anak berkebutuhan khusus itu beragam. Jadi sebagai seorang guru sebelum melakukan suatu pendekatan terhadap peserta didik tersebut harus mengetahui terlebih dahulu anak tersebut termasuk dalam anak kebutuhan khusus yang mana. Dengan demikian, agar mempermudah dalam melakukan pendekatan sesuai dengan kebutuhannya serta bisa mencapai tujuan yang diharapkan dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar